Mobil Murah
Dinilai Sebagai Program Gila Pemerintah Pusat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program mobil murah dan ramah lingkungan yang
diluncurkan pemerintah dianggap sebagai sebuah agenda gila. Sebab,untuk konteks
Jakarta yang sedang berperang melawan kemacetan, tentunya kebijakan pemerintah
pusat ini menjadi batu sandungan untuk kebijakan pemerintah DKI.
Jakarta saat ini berpenduduk lebih kurang 10 juta jiwa dengan
jumlah motor yang hampir setara jumlah penduduk yakni 9,8 juta unit, dan mobil
2,5 juta unit. Sementara kabarnya sejak peluncuran beberapa waktu lalu, sudah
17.557 unit mobil murah terjual dan sekarang ditambah lagi 7.000 unit pesanan
yang disumbang dari wilayah Jakarta saja.
"Ini gila! Dalam tempo beberapa minggu saja sudah besar
jumlah tambahan mobil di DKI. Anda bayangkan, bagaimana lagi kemacetan yang
akan kita hadapi ? Cari parkir mobil saja sudah sulit, polusi sudah parah,
orang bakal terjebak di jalanan dan terlambat kerja, serta aktivitas ekonomi
lainnya menjadi terhalang. Saya perhitungkan ini akan berdampak buruk bagi
produktifitas perekonomian secara keseluruhan," kata Calon Senator DKI
Jakarta, Rommy dalam pernyataannya kepada Tribunnews, Minggu (15/9/2013).
Kondisi lebih parah lagi kata Rommy akibat adanya program
mobil murah, konsumsi bahan bakar akan semakin tinggi, kebutuhan BBM (bahan
bakar minyak) minyak mobil per bulan 200 liter dan motor 20 liter per bulan.
"Saya pikir, ini alamat bahwa program penghematan bahan
bakar nasional akan gagal. Bisa lebih banyak kita impor minyak dari luar. Jadi,
bukan menyelesaikan masalah transportasi, tapi justru bertambah runyam. Saya
masih mempertanyakan soal solusi yang ditawarkan Menteri perindustrian soal
kemeratan distribusi mobil murah ke daerah diluar Jakarta. Buktinya, dari segi
pesanan, tetap saja DKI penyumbang terbesar," kata Rommy.
Alasan pemerintah meluncurkan mobil murah demi rakyat miskin
dipandang Rommy justru salah. Sebaliknya, dengan adanya program mobil murah
ujung-ujungnya juga beban bagi masyarakat miskin dan juga bagi pemerintah dalam
segi kemacetan dan penyediaan bahan bakar.
Jika dilihat dari kebutuhan lanjut Rommy masyarakat miskin
sehari-hari berjuang memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Bagi mereka, mobil
masih masuk kategori barang tersier.
"Akan dikhawatirkan, maka demi konsumerisme dan budaya
materialisme, mereka pun akan membeli dengan kredit dan menimbulkan masalah
baru lagi, seperti misalnya akan berdampak pada tuntutan untuk penurunan harga
BBM, tuntutan kenaikan gaji yang mungkin tidak sanggup dipenuhi oleh
pengusaha," katanya.
Rommy juga menyayangkan pernyataan Menteri Perindustrian MS
Hidayat yang menyampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, bahwa Jokowi
harus memberikan hak bagi warganya yang miskin untuk membeli mobil murah
bertolak belakang pula dengan pernyataannya bahwa jika mobil murah ini memakai
premium maka dua tahun saja akan rusak, oleh karena itu bahan bakarnya harus
pakai Pertamax.
"Sungguh pernyataan yang tidak konsisten, bahwa disatu
sisi mobil ini diperuntukkan untuk kalangan miskin, namun disisi lain, mobil
ini harus menggunakan BBM kualitas nomor satu yakni pertamax yang harganya
paling mahal dibanding premium atau solar. Dari sisi ini saja saya menilai ini
akan menimbulkan masalah baru," kata Rommy.
Semestinya kata Rommy, menyediakan transportasi publik yang
baik dan aman harus diutamakan, bukannya meluncurkan mobil murah.
"Ini justru mendorong orang memakai kendaraan pribadi.
Saya pikir lebih bijak dengan mendukung program pak Jokowi-Basuki untuk
memperbaiki sistem transportasi publik yang bagus dan murah serta aman bagi
pengguna serta menambah ruas jalan. Program DKI saat ini yang berupaya membuat
system pelayanan transportasi publik yang murah dan terintegrasi harusnya
ditiru daerah-daerah lain, karena ukuran kemakmuran seharusnya bukan lagi dari
kepemilikan mobil. Bukannya malah mendorong orang miskin membeli mobil, tapi
harusnya mendorong mereka untuk investasi ke pendidikan dan perekonomian,"
kata Rommy.
Akan tetapi karena sudah telanjur menjadi program nasional
dengan mitranya pihak swasta otomotif. Jadi, untuk DKI, saran Rommy yang bisa
dilakukan untuk membendung persoalan yang ditimbulkan dari kebijakan mobil
murah pemerintah pusat adalah dengan segera melaksanakan sosialisasi pengenaan
pajak progresif bagi pemilik kendaraan, perbaikan transportasi bus sedang dan
Trans Jakarta, juga penerapan sistem jalan berbayar, pengenaan biaya parker
yang tinggi, maupun penerapan plat mobil ganjil genap.
Namun, kesemuanya ini harus benar-benar dilaksanakan dengan
syarat fasilitas transportasi massal juga baik, agar masyarakat benar-benar
bisa berpindah menggunakan transportasi umum.
Sumber : http://id.berita.yahoo.com/mobil-murah-dinilai-sebagai-program-gila-pemerintah-pusat-152953296.html
Pendapat saya mengenai berita tersebut :
Saya amat sangat setuju dengan pernyataan yang
diucapkan oleh pak Rommy. Dengan adanya mobil murah, bagaimana kemacetan yang
akan kita alami? Sudah pasti akan sangat merepotkan dan runyam. Pikirkan, di
kota-kota besar seperti Jakarta saja sudah cukup macet lalu lintasnya, lalu ini
sudah ada tambahan mobil murah yang sudah terjual sekitar 17.000 unit
banyaknya. Macet pun akan bertambah runyam dan sangat sulit diatasi.
Beralih dari kemacetan, dampak negatif lain pun
juga ada seperti polusi udara dan peningkatan penggunaan BBM. akibat
adanya program mobil murah, konsumsi BBM akan semakin tinggi dan tingkat
kemiskinan pun juga akan semakin tinggi karena masyarakat harus membeli
pertamax yang harganya lebih mahal dibanding premium/solar.
Menurut saya, daripada pemerintah menjual mobil
murah, alangkah baiknya jika pemerintah menjual bahan pangan murah. Sebab, dengan
adanya bahan pangan murah, kebutuhan masyarakat lebih terpenuhi.
Bila memang
program mobil murah ini tidak dapat dihentikan, seharusnya mobil tersebut
diedarkan ke luar Jawa seperti Sulawesi agar macet di Jawa tidak bertambah
buruk. Saya harap, pemerintah dapat berpikir lebih jernih lagi mengenai hal
ini.
0 komentar:
Post a Comment